Kematian Siyono (39) warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten dalam pemeriksaan Densus 88 perlu disikapi dengan serius. Siyono dijemput dalam keadaan sehat dari kediamannya Selasa (8/3).
Menurut Karo Penmas Polri Brigjen Agus Rianto, Siyono tewas karena kelelahan setelah berkelahi dengan anggota Densus 88 di dalam mobil.
Pengamat terorisme Mustofa B. Nahrawardaya mencium nuansa kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime di balik kematian Siyono.
"Saya tidak mudah percaya dengan perubahan karakter Densus 88 yang tiba-tiba menjadi tidak ganas. Selama ini, semua orang juga tahu akan keganasan Densus 88 saat bekerja. Tidak ada ceritanya, ada terduga yang dapat lolos dari kawalan Densus," ujar Mustofa dalam keterangannya pada redaksi.
"Setelah ditangkap dengan cara kasar, biasanya terduga langsung diborgol, dilakban mukanya. Bahkan, kaki dan tangan terduga, 100 persen tidak mungkin dapat bergerak bebas, karena memborgol kaki dan tangan adalah standard baku mereka," kata dia lagi.
Dengan demikian, menurut Mustofa, sulit membayangkan ada terduga teroris yang berani melawan bahkan sampai lepas dari kawalan.
"Ini adalah extra ordinary crime. Kejahatan tingkat tinggi, yang resiko dari kejahatannya dapat membunuh banyak orang. Maka dari itu, kebiasaan Densus, adalah bermain keras dan ganas, jika tidak mau saya sebut kejam," sambungnya.
Mustofa juga mengatakan, kematian Siyono menyisakan banyak pertanyaan dan operasi Densus 88 ini patut diusut. Jika perlu, dilakukan audit total terhadap satuan khusus anti terorisme ini.
Mustofa mengutip pernyataan Menko Polhukam Luhut B. Panjaitan yang mengatakan peningkatan anggaran Densus 88 menjadi Rp 1,9 triliun adalah untuk kenaikan gaji 400 anggota Densus 88, peremajaan alat, penguatan intelijen, dan sebagainya.
Jika kenaikan tersebut tidak menambah keahlian Densus 88 dalam dinas, sebut Mustofa, kenaikan anggaran tersebut perlu diaudit dan kalau perlu, selama audit, operasi Densus 88 sementara dikembalikan ke Brimob terlebih dahulu. [rmol]
KOMENTAR ANDA